Bg-img

Chen Fu Zhen Ren

 

  • Admin
  • Dec 23, 2024
  • Dewa

Chen Fu Zhen Ren

Chen Fu Zhen Ren (Hanzi= 陈府真人; Hokkien= Tan Hu Cin Jin) adalah salah satu leluhur etnis Tionghoa (Tionghoa) yang dipuja di wilayah Banyuwangi dan sekitarnya. Selain dipuja oleh peranakan Tionghoa yang menetap di Indonesia, Kongco Chen Fu Zhen Ren juga dipuja oleh sebagian etnis Bali dan Jawa terutama yang memeluk kepercayaan Kejawen.

Klenteng-klenteng yang memuja Chen Fu Zhen Ren sebagai panutan utama mereka tersebar di wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Pulau Lombok. Namun Chen Fu Zhen Ren juga dikenal hingga ke Jawa Barat dan Mancanegara. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa warga Tionghoa dari Banyuwangi dan sekitarnya yang menetap di Jawa Barat serta masih memiliki sanak keluarga di daerah asal mereka. 

Selain itu, umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren juga secara periodik melakukan kirab ke berbagai daerah, misalnya mengunjungi TITD Hwie Ing Kiong di Madiun, dengan membawa rupang sang Dewa dalam sebuah arak-arakan. Jalur perdagangan serta penelitian akademis juga berperan besar membawa nama Chen Fu Zhen Ren hingga ke Singapura, RRT, Belanda, dan sebagainya.

Hanya ada dua sumber tertulis yang mengisahkan kehidupan Chen Fu Zhen Ren, sementara sumber-sumber lain tidak ditulis melainkan diturunkan secara lisan. Sumber pertama adalah biografi singkat yang tertuang dalam prasasti pendirian Klenteng Liong Coan Bio di Probolinggo. Sumber kedua berasal dari dokumen Melayu yang disimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Dokumen tersebut berhasil disalin oleh seorang cucu dari pengurus Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi (nama penyalin tidak berhasil diidentifikasikan) pada tahun 1880 saat ia berada di Buleleng, Bali.

Prasasti di Probolinggo menuliskan asal usul dia sebagai berikut:

Keluarga Tan Hu Cinjin datang dari Chaozhou, propinsi Guangdong. Saat ia masih anak-anak, ia anak yang rajin, berbakti pada ibunya bersama dengan kedua kakak laki-lakinya; ia taat aturan, tahu sopan santun, dan seorang pengrajin yang berbakat. Ia membangun sebuah istana di Bali dan hidup kekal di pelabuhan Blambangan.

Tulisan Melayu mengisahkan perjalanan hidup Chen Fu Zhen Ren saat dia masih sebagai manusia hingga legenda yang terjadi setelah dia meninggalkan dunia.

Masa kehidupan sebagai manusia

Dalam tulisan ini, Chen Fu Zhen Ren disebutkan bernama Tan Cin Jin (menurut dialek Hokkien). Ia adalah kakak tertua dan memiliki dua adik pria yang datang ke Indonesia bersama-sama. Tan Cin Jin menjadi kapten dari kapal bertiang satu (Perahu Sloop). Pada suatu ketika mereka mengadakan perjalanan dari Batavia menuju Bali, tetapi perahu mereka naas di Selat Bali. Tan Cin Jin terdampar di pantai Blambangan, adik keduanya hilang di laut, sementara yang ketiga terdampar di pantai Bali. Umat Klenteng Chen Fu Zhen Ren meyakini bahwa adik kedua dia menjadi Dewa di Pantai Watu Dodol dan disebut Ji Kongco (Kakek Buyut Kedua) sementara yang ketiga menjadi harimau dan disebut Sa Kongco (Kakek Buyut Ketiga). Itulah sebabnya masyarakat setempat, terutama suku Fujian (Hokkian), percaya bahwa harimau tidak akan memangsa mereka yang telah dianggap sebagai cucu-cucunya.

Chen Fu Zhen Ren kemudian menuju Kerajaan Blambangan. Dituliskan bahwa Ketika itulah mulai baharu ada orang Tiongkok di negri Blambangan, yang menurut C. Salmon dan M. Sidharta diartikan bahwa pada waktu itu orang Tionghoa baru saja mulai menetap di kerajaan Blambangan. (Menurut Babad Blambangan yang ditulis oleh Raden Haryo Notodiningrat dan Ottolander, 1915, masyarakat Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada tahun 1631). 

Meskipun tulisan Melayu tidak menyebutkan kapan hal tersebut terjadi, tetapi disebutkan bahwa pada saat itu Kerajaan Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Hal tersebut menjadi dasar bagi kedua peneliti untuk menyimpulkan bahwa kedatangan Chen Fu Zhen Ren di Blambangan terjadi setelah tahun 1729, yaitu setelah Kerajaan Buleleng dikalahkan Kerajaan Mengwi.

Tan Cin Jin diterima oleh Raja Blambangan yang kemudian memerintahkannya membangun sebuah istana di Macanputih (kini berada di wilayah Probolinggo). Dikisahkan bahwa istananya begitu sempurna sehingga kabar bahwa Raja Blambangan memiliki arsitek berbakat sampai ke telinga Raja Mengwi. Pada saat itu, Raja Mengwi hendak mengadakan sebuah pesta besar serta membangun istana baru, sehingga Raja Blambangan mengutus Tan Cin Jin ke Mengwi. Awalnya Tan Cin Jin menolak karena mengetahui bahwa ia akan dikhianati, tetapi Raja Blambangan terus memaksa bahkan bersumpah bahwa jika Tan Cin Jin mengalami musibah di sana, Kerajaan Blambangan tidak akan diberkahi selama beberapa generasi. Tan Cin Jin akhirnya berangkat ke Mengwi dan segera membangun istana baru.

Saat istana selesai baru separuh, para pegawai istana datang menghadap Raja Mengwi dan berkata bahwa raja percuma menyewa si pemahat Tionghoa karena pekerjaannya sangat mudah sementara upahnya mahal. Masyarakat Bali sendiri mampu melakukan pekerjaan yang sama dan upahnya tidak semahal itu. Raja Mengwi bingung karena telanjur berjanji akan membayar upahnya, apalagi ia telah memanggilnya dari tempat yang jauh. Para pegawai istana menganjurkan raja untuk membunuhnya karena Tan Cin Jin hanya seorang diri (sebatang kara). Raja Mengwi kemudian mengutus dua orang dari kasta Brahmana untuk membunuhnya.

Kedua orang ajudan raja mengundang Tan Cin Jin ke pantai untuk menikmati hiburan. Sesampai di pantai, mereka bingung dan terdiam karena menyadari bahwa korban mereka sebenarnya tidak bersalah. Tan Cin Jin menyuruh mereka untuk melaksanakan perintah raja. Namun, karena dirinya tidak bersalah, pembunuhan tersebut akan menjadi peringatan bahwa tidak lama lagi Kerajaan Mengwi dan Blambangan akan hancur. Kedua ajudan tersebut ketakutan dan memohon maaf, selain mereka juga tidak sanggup membunuh Tan Cin Jin. Keduanya tidak berniat kembali, sebab raja pasti akan membunuh mereka karena gagal melaksanakan perintahnya. Tan Cin Jin mengajak keduanya ke Blambangan.

Dalam kisah, Tan Cin Jin dikatakan berjalan kaki melintasi laut. Kedua sandalnya digunakan kedua ajudannya untuk mengambang. Sesampai di pantai Blambangan, mereka naik ke puncak Gunung Sembulungan dan moksa (menghilang) di sana.