Kelenteng Talang ini sebelumnya bernama Sam Po Toa Lang. Toa-Lang artinya adalah orang-orang besar. Nama itu diambil untuk menghormati tiga tokoh besar muslim utusan dinasti Ming yang pernah singgah di Cirebon, yaitu Laksamana Cheng Ho, Laksamana Kung Wu Ping, dan Laksamana Fa Wan.
Tampak depan bangunan utama Kelenteng Talang Cirebon. Tidak ada ornamen sepasang naga atau pun burung Hong di atas wuwungani. Tulisan yang berada di atas pintu gerbang kelenteng menunjukkan bahwa kelenteng ini adalah sebuah Kelenteng Konghucu. Karena yang saya kunjungi biasanya adalah kelenteng Tri Dharma (Buddha, Konghucu, dan Tao)
Ada tulisan pada papan yang menempel pada dinding kelenteng yang berbunyi "Di dunia ini ada dua hal yang susah, memanjat langit itu susah, meminta bantuan orang lain lebih susah.
Dalam kehidupan manusia ada dua hal yang pahit, buah Huang-lian itu pahit, hidup orang miskin lebih pahit.
Di dunia ini ada dua hal yang rawan, dunia Kang-ouw itu rawan, hati manusia lebih rawan. Dalam kehidupan manusia ada dua hal yang tipis, kertas itu tipis, nurani manusia lebih tipis." Dunia Kang-ouw adalah dunia persilatan, istilah yang tidak asing bagi mereka yang hobi membaca cerita silat Cina karya Asmaraman S Kho Ping Hoo. Dunia Kang-ouw juga sering disebut rimba hijau.
Tulisan di atas pintu gerbang Kelenteng Talang Cirebon, berbunyi Lithang Konghucu, Majelis Agama Konghucu Indonesia. Lithang adalah nama tempat ibadah penganut Konghucu, sebagaimana masjid bagi penganut agama Islam, atau gereja bagi orang Kristen.
Di atas kusen pintu masuk ke dalam Kelenteng Talang terdapat tulisan "Pintu Memasuki Kebajikan", dan di sebelah kiri bawah berbunyi "Kesusilaan", dan di sebelah kanannya berbunyi "Cinta Kasih". Sebuah silsilah yang menempel di tembok Kelenteng Talang yang sangat menarik perhatian. Papan di tembok Kelenteng Talang ini berisi silsilah dari Hayam Wuruk, Raja terbesar Kerajaan Majapahit, sampai ke pendiri Kelenteng Talang, Tan Sam Cay.
Silsilah ini, jika benar, membuktikan kedekatan tali darah Raja-raja Jawa dan keturunannya dengan para Tionghoa perantauan dan keturunannya di tanah Jawa ini. Raden Patah misalnya, Sultan Demak pertama yang memerintah 1455 - 1518, disebut-sebut sebagai Pangeran Jin Bun, dan dikatakan sebagai anak Kertabumi (Raja yang memerintah Majapahit pada 1474 - 1478) dari seorang isteri Cina, anak babah Ban Hong. Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama yang memerintah pada 1552 - 1578, tertulis di sana sebagai anak Sultan Trenggana dari seorang isteri Cina, anak perempuan Swan Liong.
Di kelenteng ini ada sebuah genta besar berwarna kuning terang dengan ornamen dan tulisan Tionghoa berwarna merah, di dekat meja berukir dengan warna abu-abu keunguan kuat indah. Di pojok ada pula naga indah menunggu waktu yang tepat untuk beraksi di jalanan pada acara ritual tahunan kelenteng. Penampilan Barongsai Kelenteng Talang Cirebon kabarnya sangat menarik dan aksinya selalu ditunggu masyarakat Cirebon.
Patung Nabi Kong Hu Cu yang duduk diantara para muridnya terlihat di salah satu altar utama Kelenteng Talang. Di belakangnya terdapat ornamen naga hijau yang indah. Di atas altarnya ada tulisan yang berbunyi: "Kebajikannya Menunggal dengan Langit dan Bumi". Ada pula sebuah tulisan yang berbunyi: "Kebajikan Mengharukan Malaikat". Bangunan kelenteng Talang ini diperkirakan didirikan sejaman dengan dibangunnya Masjid Agung Demak.
Ada pula sebuah altar yang digunakan untuk memuja Tan Sam Cay, atau Haji Mohamad Sjafi’i, Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon tahun 1569-1585, yang diberi gelar oleh Sultan Cirebon sebagi Tumenggung Aria Dipa Wira Cula. Bangunan Kelenteng Talang ini didirikan Tan Sam Tjay pada 1450 M sebagai tempat ibadah umat Islam Tionghoa dari Mahzab Hanafi. Di atasnya tertulis: "Mengurus Keuangan dengan Jujur". Kata-kata ini bisa dimengerti, karena semasa hidupnya ia berurusan dengan keuangan kerajaan.
Konon karena kegiatan Muslim Tionghoa di Kota Cirebon waktu itu semakin berkembang pesat, maka Pusat Pengembangan Muslim Tionghoa kemudian dipindah ke Desa Sambung. Bangunan Kelenteng Talang Cirebon lalu lama kelamaan dijadikan sebagai tempat ibadah penganut Konghuchu. Tan Sam Cay sendiri akhirnya kembali ke agamanya semula, Konghucu.
Di taman samping Kelenteng Talang, terdapat patung monyet dengan kedua tangan masing-masing menutupi mulut, mata dan telinga, yang bisa diartikan sebagai mengendalikan indera dari hal-hal yang bisa merusak pikir, rasa, jiwa, dan raga.
Sedangkan di sebelah kanan depan Kelenteng Talang terdapat sebuah sumur tua dan bekas tempat berwudhu yang ditutup pagar dan sudah tidak digunakan lagi. Tan Sam Cay, atau Aria Dipa Wira Cula, meninggal pada tahun 1817 M di Puri Sunyaragi karena menenggak racun saat bersama haremnya, dan makamnya berada di Jalan Sukalila Utara, Cirebon.
Sebagaimana terlihat, kondisi Kelenteng Talang saat itu berada dalam keadaan yang cukup baik dan terawat, setelah sebelumnya sempat dikabarkan dalam keadaan menyedihkan dan terlantar. Tampaknya memang ada masa dimana pengurus dan dinas terkait seperti membiarkan Benda Cagar Budaya tidak terurus, sebelum akhirnya muncul dewa penyelamat. Seperti sebuah siklus hidup tanpa akhir.
Share on