Kelenteng tua ini rupanya menyimpan banyak cerita. Baik dari era pendudukan Belanda maupun Jepang. Salah satu cerita yang paling populer adalah pemboman pada masa kolonial tersebut.
Bom pertama meledak di samping Kelenteng Po An Kiong. Di kawasan pertokoan antara Jalan Niaga dan Jalan Katamso, Banjarmasin Tengah.
Bom kedua meledak tak jauh dari Masjid Noor di Jalan Pengeran Samudera. Lalu, di mana bom ketiga yang gagal meledak itu?
"Masih terkubur di dalam tanah. Tidak aktif. Posisinya di bawah patung singa," tutur pengurus kelenteng Hengky Yulianus Sofiyan kemarin (25/10) siang.
Patung singa itu berada tepat di depan pintu masuk kelenteng, di sebelah kanan.
Nama resminya adalah Po An Kiong. Tapi masyarakat juga mengenal dua nama lain, Kelenteng Karta Raharja dan Kelenteng Pasar. Nama yang disebut terakhir merupakan yang paling terkenal.
Sebab tempat ibadah ini memang berada di tengah-tengah kawasan pasar yang sibuk.
Mengutip buku 'Banjarmasin Tempo Doeloe: Sketsa Kecil dari Bingkai Masa Lalu' karya Mansyur, kelenteng ini dibangun tahun 1898.
Dahulu posisinya berada persis di belakang Pasar Harum Manis. Namun, saat musibah kebakaran besar melanda tahun 1914, kelenteng direlokasi ke Jalan Niaga Nomor 45.
Oleh masyarakat, kelenteng ini dianggap keramat. Karena melewati beberapa kali masa genting, kelenteng ini selalu selamat.
Paling anyar, pada prahara 23 Mei 1997 atau Jumat Kelabu, kelenteng ini juga menjadi sasaran amuk massa. Namun, kerusakan yang dideritanya tak terlalu parah. Padahal banyak mobil dan bangunan lain yang dijarah dan dibakar.
Hanya kaca jendela kelenteng saja yang rusak. Mengapa bisa demikian?
Kembali pada penuturan Hengky, saat kerusuhan terjadi, ada banyak warga yang menjadikan kelenteng ini sebagai tempat berlindung. Mereka berkumpul dan berdoa di dalamnya.
Ketika amuk massa mulai menyasar bangunan ini, suasana begitu tegang. Namun tak lama, seketika kondisi berubah hening.
"Rupanya, beberapa dari mereka yang berada di dalam maupun di luar kelenteng, melihat sosok tentara Cina turun dari langit," tuturnya.
Konon, sosok prajurit itu bertubuh tinggi besar. Memakai zirah kuno, lengkap dengan senjata.
Ia beserta warga keturunan Tionghoa di Banjarmasin, meyakini sosok tersebut adalah dewa yang melindungi Kelenteng Pasar. "Kami yakin itu sosok Kwan Kong, Dewa Perang," sebutnya.
Cerita itu menyebar luas dari mulut ke mulut. Tetap populer sampai hari ini.
Di dalam kelenteng ini, ada rupang Kwan Kong. Altarnya berada di sisi kiri dinding kelenteng. Di sana juga terdapat lukisan tiga sosok. Salah satunya adalah Kwan Kong itu sendiri.
"Bila sudah bertindak, tak ada kompromi. Itu pula yang membuat Kwan Kong dipuja-puja," ujarnya.
Sebelum mengabdikan diri sebagai pengurus kelenteng, anggota Majelis Rohaniawan Tridharma (Matrisia) itu pernah meminta petunjuk terkait seringnya gangguan makhluk halus di kediamannya.
"Seusai saya berdoa di sini, saya kemudian bermimpi. Dalam mimpi, saya diarahkan untuk menaburkan abu dupa yang diambil dari altar Kwan Kong ke sekeliling rumah," ungkapnya.
"Setelah itu, benar... tak ada lagi gangguan makhluk tak kasat mata di rumah saya. Tentu Anda boleh percaya atau tidak. Tergantung kepercayaan masing-masing," pungkasnya.
Delapan Dewa mengisi klenteng tersebut. Terlebih masing-masing dewa dipercayai memiliki tugas yang berbeda. Sehingga para umat Thionghoa mengajukan doa sesuai dewa yang dituju.
Mereka yang sembahyang harus berdoa kepada dewa secara berurutan. Dari dewa nomor satu hingga delapan.
Diterangkan olehnya posisi Dewa nomor satu ialah Dewa Thien kung. Ia dikenal sebagai Tuhan.
Share on