Kelenteng Pan Kho Bio menarik karena merupakan kelenteng tertua di Kota Bogor, berdiri pada 1703, meskipun bangunan aslinya sudah tak ada, juga karena berada di Pulo Geulis yang diapit aliran Sungai Ciliwung.
Altar Dewi Kwan Im saya jumpai di Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Jauh sebelum agama Buddha masuk ke daratan Tiongkok, orang Tionghoa sudah mengenal Pek Ie Tai Su, atau Dewi Welas Asih baju putih. Ketika agama Buddha masuk, Kwan Im diakomodasi sebagai penjelmaan Buddha Avalokitesvara yang turun ke bumi untuk menolong manusia dari penderitaan, dan berwujud wanita agar leluasa dalam memberi pertolongan kepada semua orang.
Di sisi kanan ruangan ada batu hitam besar dibalut kain hijau berornamen bunga mekar dan kuncup yang merupakan petilasan Embah Raden Mangun Jaya, salah satu karuhun atau orang yang semasa hidupnya memiliki kharisma kuat dan disegani oleh masyarakat tradisional Sunda, serta dipercayai masih merupakan keturunan dari Raja Pajajaran. Di ruang utama terdapat deretan patung para dewa.
Di tengah ada altar Pan Kho yang merupakan tuan rumah Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Pan Kho lahir pada bulan 1 tanggal 6 Imlek, dan ritual peringatan malam Sie Jit Kongco Pan Kho dilakukan setiap tahun di kelenteng ini. Ada poster di tembok Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis berisi legenda Pan Kho.
Legenda Pan Kho
Konon awalnya terjadi kegelapan dan kekacauan dimana-mana. Saat itulah muncul telur berisi Pan Kho. Selama ribuan tahun Pan Kho tidur dan tumbuh di dalam telur, hingga tubuhnya menjadi sangat besar. Telur pun pecah saat ia merentangkan tangan dan kakinya. Bagian telur yang ringan melayang membentuk langit, dan yang padat turun menjadi bumi.
Untuk mencegah bersatunya langit dan bumi, Pan Kho berdiri diantara keduanya dengan kepala menahan langit dan kaki menjejak bumi. Dalam keadaan itu Pan Kho terus tumbuh dengan kecepatan 10 kaki per hari selama 18.000 tahun, sampai bumi langit terpisah sejauh 30.000 mil. Karena kelelahan ia pun tertidur dan tak pernah bangun lagi.
Setelah Pan Kho meninggal, konon nafasnya menjadi angin dan awan, suara jadi guntur dan halilintar, mata kiri kanan jadi matahari dan bulan, lengan dan kaki jadi mata angin, tubuh jadi gunung, daging jadi bumi dan pohon, darah jadi sungai, rambut tubuh jadi rerumputan dan tumbuhan berkhasiat, kulit jadi kulit bumi, tulang dan gigi jadi batu berharga dan mineral, rambut kepala menjadi bintang, keringat jadi embun, serta benalu di tubuhnya jadi manusia yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Ada pula altar Hok Lok Soe di Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis. Hok Lok Soe berarti Rejeki Bahagia Umur panjang. Ho Lok Soe adalah dewanya para pengikut Tao yang terdiri dari tiga, yaitu Fu Shen (dewa rejeki / kekayaan, menggendong anak kecil, paling kanan), Lu Shen (dewa kebahagiaan / keturunan, tengah) dan Shou Shen (dewa panjang umur, kepala botak berjanggut putih).
Selanjutnya ada altar Thu Tie Pakung yang berada tepat di bawah altar Pan Kho. Ada yang menyamakan Thu Tie Pakung sebagai Hok Tek Ceng Sin (Dewa Bumi), ada pula yang menyebutnya sebagai adik Dewa Bumi. Namun di sebuah tulisan disebut bahwa sie jit (ulang tahun) To Ti Pa Kung jatuh pada tanggal 6 bulan 6 Imlek, sedangkan Hok Tek Ceng Sin jatuh pada tanggal 16 bulan 12 Imlek.
Di Kelenteng Pan Kho Bio Pulo Geulis ada pula altar pemujaan bagi Kwan Seng Tek Kun yang lebih terkenal di Indonesia sebagai Kwan Kong (Guan Gong), serta altar bagi Dai Sang Law Cin. Di sisi kiri depan terdapat joli dibungkus plastik yang biasa diarak pada perayaan Imlek,
Share on